Mengapa banyak yang beranggapan bahwa pendidikan hanya berlangsung di sekolah saja, padahal pendidikan di sekolah merupakan kasur penggodokan seteleh di keluarga dan lingkungan.
Para orang tua banyak yang berasusmsi masa depan anaknya 100% ada di
bangku sekolah. Karena para orang tua sudah susah payah bekerja siang
hingga larut malam untuk mengumpulkan uang demi untuk menyekolahkan
anaknya. Pulang sekolah anaknya di kursuskan diberbagai tempat agar di
sekolah dapat nilai 100 semua.
Kebanggaan orang tua terletak saat anaknya
mendapat ranking teratas, nilai-nilai sekolahnya 100 semua. Namun si
orang tua lupa, bahwa sekolah hanya mengisi 30% dari ruang belajar anak,
sehingga sekalipun mendapat nilai 100 dari sekolah, kalau nilai
pendidikan dari orang tua dan dari lingkungan nol, anak hanya mendapat
nilai setara 3,3.
Ini berbeda dengan anak tetangga yang nilai sekolahnya biasa-biasa
saja, sebut saja 6, tetapi orang tua aktif mengajak jualan di warung. Ia
bisa mendapat nilai 8 dari orang tua (karena dibina langsung)) dan 9
dari gemblengan lingkungan sehingga rata-ratanya menjadi 7,67. Kira-kira
seperti itu, dan anak yang di sekolah biasa-biasa saja bisa menjadi
sarjana yang hebat, wirausaha tangguh atau ilmuwan yang gigih. Sementara
anak yang di sekolah diberi predikat genius hanya bisa memajang ijazah,
menjadi “penumpang” dalam kehidupan.
Bagi orang tua yang tidak memiliki waktu pasti
akan susah bagaimana cara membuat kurikulum bagi anak-anaknya. Orang tua
bisa mendesain kurikulum anak dengan memperhatikan aspek-aspek
perkembangan anaknyayang berbeda dengan anak lainnya. Jadi, kalau mau
berubah, kita tidak boleh tanggung-tanggung. Harus ada program yang
jelas pada orang tua, termasuk mendesain dan eksekusi kurikulum untuk
anaknya di rumah, beserta pembaharuan laporan kemajuan belajar (Raport).
Adalah tidak tepat memberi laporan kemajuan belajar semata-mata
menulis angka. Orang tua butuh laporan verbal tentang kemajuan anaknya,
yang menyangkut upaya, kemajuan, disiplin, pastisipasi terhadap diskusi,
pergaulan, minat, kepatuhan, kreativitas, metodologi, hubungan
vertikal-horizontal, sikap-sikap sosial dan sebagainya. Lagipula apa
gunanya mengetahui anak kita berada di nomor berapa di kelas bila kita
tidak tahu apa yang harus diperbaiki.