Tanah Surga... Katanya : Potret Dilema Masyarakat Perbatasan
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Lagu yang dipopulerkan Koes Plus ini lantas terus terngiang di telinga.
Film layar lebar ini berhasil membuat saya termangu. Sampai ketika saya menulis ini pun masih ada perasaan mengganjal yang tertinggal di benak saya.
Tanah Surga... Katanya
mengisahkan potret kehidupan masyarakat dusun pedalaman Kalimantan
Barat yang hidup di perbatasan Indonesia-Malaysia. Pesan saya, jangan
salah interpretasi. Yang mau disampaikan bukan jenis provokasi hubungan
Malaysia-Indonesia yang sempat tidak akur. Mari melihat dengan kacamata
lain.
Adalah
sangat manusiawi ketika sebagai seorang rakyat akan berusaha mencari
bentuk penghidupan yang layak. Pun sangat wajar ketika harus memilih,
pilihan akan jatuh pada sebuah kesejahteraan kehidupan yang pasti dan
jauh lebih menjanjikan. Ini yang dialami oleh keluarga Hasyim
(Fuad Idris), sang mantan pejuang Indonesia yang memiliki rasa cinta
dan percaya penuh pada Tanah Air Indonesia. Indonesia harga mati.
"Indonesia itu negara kaya!"
"Yang kaya itu Jakarta, Pak! Rakyat Kalimantan pinggiran seperti kita tidak dapat apa-apa!"
Kira-kira
begitulah gambaran perdebatan Hasyim dan anak lelakinya, Haris (Ence
Bagus). Haris adalah contoh dari sekian banyak masyarakat perbatasan
yang berhasil termanjakan oleh perputaran uang dan fasilitas di negeri
tetangga. Alih-alih mendapat fasilitas penghidupan yang layak, Haris
memilih berpindah kewarganergaraan. Kasarnya, boro-boro mau mempertahankan kecintaan pada Indonesia, menikmati kehidupan layak pun tidak.
Salman (Osa Aji Santoso) memutuskan untuk tetap bertahan di tanah
Kalimantan dengan kakeknya, sementara Haris memboyong adik Salman,
Salina (Tissa Biani Azzahra).
Bentuk
kritikan pedas beberapa tersampaikan dengan cara blak-blakan, sedangkan
sebagian besar sisanya digambarkan lewat detil pola hidup si masyarakat
dusun tersebut. Menangkap semua detil itu membuat perasaan semakin
miris. Mulai dari perbedaan drastis penampakan jalan raya perbatasan
Indonesia-Malaysia, hingga bentuk eksistensi identitas bangsa yang
rupanya minim dirasakan masyarakat pinggiran ini. Lembaran uang rupiah
pun rasanya seperti melihat uang monopoli.
Apapun yang terjadi, jangan sampai kehilangan cinta pada negeri ini...