Berempati Dikala Ujian Nasional |
KESIBUKAN
menyongsong Ujian Nasional (UN) sudah dirasakan jauh-jauh hari lalu.
Tak hanya sibuk, rasa cemas, panik menjadi terasa sejak siswa mulai
memasuki kelas terakhir pada jenjang pendidikannya. Semua bermuara pada
satu tujuan, yaitu kelulusan. Mereka harus rela dijejali bermacam-macam
materi yang kelak diujinasionalkan. Tidak puas di sekolah, siswa masih harus mengikuti pelajaran tambahan di bimbingan belajar yang andal dan favorit. Kelulusan seolah menjadi hal mutlak yang harus dicapai siswa, kelulusan 100 persen harus dihasilkan sekolah, harus diraih kabupaten, provinsi dan akhirnya hasil 99,99 persen dicapai di tingkat nasional. Itulah yang dimaui pemerintah, bahwa pendidikan kita berhasil, pendidikan kita sukses, semua siswa mampu menembus evaluasi, standardisasi nasional. Padahal, kalau mengamati secara cermat, kondisi siswa kita beragam. Ada beberapa murid yang masa bodoh dan tidak peduli, beberapa murid serius, beberapa lagi harus berjuang dan belajar keras. Berawal dari keberagaman itulah muncul kekhawatiran, bagaimana mungkin angka seratus persen dapat tercapai? Tuntutan dari kepala sekolah, tuntutan Dinas dan tuntutan orangtua siswa membuat guru menghadapi dilema etika, yaitu kondisi dimana seseorang dihadapkan pada pilihan dan kemungkinan-kemungkinan yang sulit, menantang dan pada umumnya tidak disukai. Namun seseorang tersebut harus membuat keputusan untuk memecahkan dilema tersebut (Shapiro: 2005). Ada dilema etik antara kepedulian (care) dan aturan (rules) di sini. Di satu sisi kode etik sebagai guru profesional harus dijunjung tinggi, di sisi lain guru merasa harus berempati, harus menolong siswanya, harus menyenangkan orangtua siswa, harus mengharumkan nama besar sekolahnya, harus memenuhi target kelulusan 100 persen. Inilah yang kemudian menggiring beberapa guru, kepala sekolah atau sekolah kepada upaya-upaya yang tidak etis untuk mencapai hasil yang paling baik di sekolahnya. Sikap dan perlakuan empati seorang guru kepada siswa merupakan tuntutan mutlak untuk mencapai hubungan yang harmonis dan edukatif. Proses pendidikan pada salah satu jenjang berlangsung tidak sebentar, masa tiga tahun kebersamaan guru dan siswa harusnya tidak bermuara kepada 3-4 hari dengan persembahan empati yang ‘bernoda’. Seperti kata pepatah, nila setitik, rusak susu sebelanga. Pada saat pelaksanaan UN, tidak banyak yang bisa kita berikan kepada siswa. Wujud empati yang dapat kita tawarkan dapat berupa empati fisik, psikis dan empati lingkungan. Pertama, empati fisik dapat kita berikan antara lain menyediakan sekadar beberapa butir permen di ruang-ruang kelas. Terutama permen jahe. Dengan mengonsumsi dua buah permen jahe, menurut peneliti di India Central Food Technological Research Institute, bisa mengurangi risiko mual dan heartburn atau naiknya asam lambung, yang bisa disebabkan perasaan cemas. Empati fisik lain adalah dengan memberikan ìpinjamanî pensil dan penghapus kepada siswa. Kedua, Empati psikis. Kesiapan mental merupakan kunci utama kesuksesan siswa dalam mengerjakan soal. Kondisi tersebut harus bisa guru berikan kepada siswa dengan menjadi pengawas ruang yang ‘wajar’, tidak over acting, apalagi sampai membuat kenyamanan dan ketenangan siswa terganggu. Ketiga, empati lingkungan. Ketenangan dan kenyamanan lingkungan merupakan bentuk empati yang harus diberikan kepada siswa. Suasana hiruk pikuk diupayakan diminimalisir. Kenyamanan dan kelayakan ruangan, pengaturan tempat duduk, posisi pengawas, bahkan sampai kebersihan ruangan. Wujud empati lain yang bisa dilakukan adalah menjaga keberlangsungan UN dengan amanah. Menjadi pengawas UN sesuai tugas pokok dan fungsinya, menjadi penyelenggara dan panitia rayon UN yang jujur, andal dan beretika dan menjadi orangtua yang memberikan rasa aman, kenyamanan serta doa restu kepada anaknya. Hasil pendidikan yang diharapkan bukan sekadar mencetak siswa yang pintar, namun lebih dari itu, pintar dan berbudi pekerti luhur.dongan dang tarhilala musu dang habiaran..... |
SELAMAT DATANG DI SMP NEGERI 2 BALIGE
Rabu, 18 April 2012
BEREMPATI DI KALA UJIAN NASIONAL
Jumat, 13 April 2012
JUJUR DAN BERPRESTASI
Kondisi selama ini menunjukan
bahwa kecurangan pada saat ujian bukan hanya dilakukan oleh siswa
semata akan tetapi dilakukan juga oleh sejumlah oknum yang tidak
bertanggung jawab,"
Seharusnya, hal semacam itu
tidak boleh dibiarkan terus berlanjut dan pemerintah harus menindak
tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak sekolah. Kalau perlu
diumumkan saja sekolah yang terbukti melakukan kecurangan pada saat UN
agar masyarakat mengetahuinya.
sangat sulit untuk mewujudkan hasil pendidikan yang jujur dan
berprestasi, jika itu hanya diharapkan pada saat UN berlangsung.
"Karakter jujur itu tidak
datang dengan sendirinya, menanamkan kejujuran harus dimulai sejak dini
dan juga dilatih sejak awal dalam proses pembelajaran di sekolah,"
ujarnya.
Pengawasan pelaksanaan UN tahun ini harus diperketat karena disinyalir
kecurangan UN masih dapat terjadi jika tidak ada komitmen yang kuat
dari semua pihak untuk mewujudkan UN yang jujur tersebut.
"Kita berharap pelaksanaan UN
tahun ini dapat menghasilkan prestasi siswa yang meningkat, tidak saja
nilai kognitif tetapi juga nilai afektif dan psikomotoriknya.
Masyarakat juga diminta untuk ikut serta memantau dan mengawasi
pelaksanaan ujian siswa, agar kecurangan UN dapat dihindari,"
Pelaksanaan UN pada tahun ini
akan mulai dilaksanakan pada tingkat SMA/MA yang digelar pada tanggal
16-19 April 2012. Kemudian UN dilanjutkan untuk jenjang SMP/MTs dan
SMPLB tanggal 23-26 April 2012, serta tingkat SD/MI/SDLB akan digelar
pada tanggal 7-9 Mei 2012.Selamat Ujian dan semoga lulus dengan predikat bagus.
Langganan:
Postingan (Atom)